Kenapa aku berpendapat kita ini yang terhebat? Kita ini yang
terhebat. Ini bukan fakta, ini adalah opini. Jikalau ini fakta bukankah ini
sesuatu yang disetujui secara luas oleh masyarakat umum? Kenyataannya tak perlu
masyarakat umum untuk membuka mata bahwa yang kuanggap terhebat hanyalah
sekumpulan tulang dan kulit serta efek cheerleader.
Aku meneriaki khalayak ramai betapa berharganya yang
kuanggap terhebat ini. Nyatanya serangkaian kebohongan yang memuakkan
menghempas ku ke kenyataan. Dengan cara yang brutal.
Tak perlu cum laude psikologi untuk menyadari kenapa perasaan
terkhianati sedemikian menancapkan cakarnya di hati. Ingin rasanya membohongi
diri sendiri. Meyakinkan bahwa yang terjadi hanya adegan mainstream dari opera
murahan. Tapi bahkan kepompong-nya sindentosca tak semerdu dulu.
Aku mungkin lancang, bertindak terlalu jauh dan
mengatasnamakan kata sayang. Lantas, kata apalagi yang harus aku ucapkan? Kenyataannya
memang itulah yang mendasari semua alasan aku melewati batas. Aku memang
sayang, sangat sayang malah. Maka dari itulah tamparan kenyataan sebegitu
menyakitkan tatkala kusadari orang yang kusayang menganggapku tak ubahnya gulma
yang mengganggu pertumbuhan padi. Mungkin aku berlebihan atau mungkin yang
kusayang memang keterlaluan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar