Aku meninggalkan tapi juga merasa ditinggal
Aku sempat naif, tadinya yang kukira ada tujuannya tiba-tiba bubar begitu saja. Jangan pikir aku mengerti awal mula kenapa bisa sedemikian melekat dalam ingatan. Benarkah sebuah mimpi sekuat itu pengaruhnya?
Aku meninggalkan tapi juga merasa ditinggal
Tadinya memang tidak dekat, dipisah lebih dari sekedar jarak. Berbeda sampai bisa dibuat sekat. Lalu secepat kilat menjadi akrab, dalam repetisi bertukar pendapat.
Aku meninggalkan tapi juga merasa ditinggal
Ternyata memang hidup tidak bisa kita tebak. Satu tambah satu tidak melulu menjadi dua. Yang hari ini lekas menghampiri, esoknya bisa jadi enggan menemui. Sudah letih kutebak salah apa atau siapa, bukan aku yang membolak-balikan perasaan.
Tampilkan postingan dengan label Feeling Blue. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Feeling Blue. Tampilkan semua postingan
Aku meninggalkan tapi juga merasa ditinggal
Minggu, 02 Februari 2020
Tiny things that sting
Awalnya biasa seperti malam pada
umumnya, seketika merasa tercekat hanya karena pesan-pesan singkat. Bukan ditujukan
dan tidak ada hubungannya denganku tapi menusuk apa yang kusebut insekuritas. Temanku
tidak salah, aku yang bermasalah dengan tidak terkendalinya dugaan yang sering
berujung pada absurdnya kesimpulan.
Berbaring aku menatap langit-langit, mencoba menelusuri darimana semua ini berawal. Inilah hal yang tidak pernah
benar-benar hilang, padahal aku tidak lagi terpinggirkan. Aku rasa itulah mengapa kita
dianjurkan berkata yang baik atau diam, karena jahatnya lisan memang bisa
sedestruktif itu. Kata-kata yang kuyakin tidak mereka ingat lagi nyatanya
bercokol selamanya di belakang kepalaku, menempel di alam bawah sadarku,
memengaruhi caraku membentuk diri sendiri. Apa aku tidak berhak, apa aku tidak
layak itulah yang diam-diam selalu berkecamuk di kepalaku setiap kali.
Aku mengerti aku harus berhenti, meski berhenti tidak semudah berdiri. Sampai
menit ini aku sadar aku belum sepenuhnya sembuh, tapi aku tidak menyerah, aku
tahu perasaan ini yang harus kalah, belasan tahun aku melangkah, aku yakin pada
saatnya nanti akulah yang tersenyum bungah.
Sabtu, 19 April 2014
Kenapa aku berpendapat kita ini yang terhebat? Kita ini yang
terhebat. Ini bukan fakta, ini adalah opini. Jikalau ini fakta bukankah ini
sesuatu yang disetujui secara luas oleh masyarakat umum? Kenyataannya tak perlu
masyarakat umum untuk membuka mata bahwa yang kuanggap terhebat hanyalah
sekumpulan tulang dan kulit serta efek cheerleader.
Aku meneriaki khalayak ramai betapa berharganya yang
kuanggap terhebat ini. Nyatanya serangkaian kebohongan yang memuakkan
menghempas ku ke kenyataan. Dengan cara yang brutal.
Tak perlu cum laude psikologi untuk menyadari kenapa perasaan
terkhianati sedemikian menancapkan cakarnya di hati. Ingin rasanya membohongi
diri sendiri. Meyakinkan bahwa yang terjadi hanya adegan mainstream dari opera
murahan. Tapi bahkan kepompong-nya sindentosca tak semerdu dulu.
Aku mungkin lancang, bertindak terlalu jauh dan
mengatasnamakan kata sayang. Lantas, kata apalagi yang harus aku ucapkan? Kenyataannya
memang itulah yang mendasari semua alasan aku melewati batas. Aku memang
sayang, sangat sayang malah. Maka dari itulah tamparan kenyataan sebegitu
menyakitkan tatkala kusadari orang yang kusayang menganggapku tak ubahnya gulma
yang mengganggu pertumbuhan padi. Mungkin aku berlebihan atau mungkin yang
kusayang memang keterlaluan.
Senin, 17 Februari 2014
Langganan:
Postingan (Atom)