Awalnya biasa seperti malam pada
umumnya, seketika merasa tercekat hanya karena pesan-pesan singkat. Bukan ditujukan
dan tidak ada hubungannya denganku tapi menusuk apa yang kusebut insekuritas. Temanku
tidak salah, aku yang bermasalah dengan tidak terkendalinya dugaan yang sering
berujung pada absurdnya kesimpulan.
Berbaring aku menatap langit-langit, mencoba menelusuri darimana semua ini berawal. Inilah hal yang tidak pernah
benar-benar hilang, padahal aku tidak lagi terpinggirkan. Aku rasa itulah mengapa kita
dianjurkan berkata yang baik atau diam, karena jahatnya lisan memang bisa
sedestruktif itu. Kata-kata yang kuyakin tidak mereka ingat lagi nyatanya
bercokol selamanya di belakang kepalaku, menempel di alam bawah sadarku,
memengaruhi caraku membentuk diri sendiri. Apa aku tidak berhak, apa aku tidak
layak itulah yang diam-diam selalu berkecamuk di kepalaku setiap kali.
Aku mengerti aku harus berhenti, meski berhenti tidak semudah berdiri. Sampai
menit ini aku sadar aku belum sepenuhnya sembuh, tapi aku tidak menyerah, aku
tahu perasaan ini yang harus kalah, belasan tahun aku melangkah, aku yakin pada
saatnya nanti akulah yang tersenyum bungah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar