Inilah hikayat tentang dua
mahasiswi yang mencari sebuah restu persetujuan. Berangkat jauh-jauh dari bumi
rawamangun ke sebuah pulau nun jauh di mato yang bernama harapan indah. Dengan berharap
nama harapan indah memang sesuai namanya. Harapan yang indah
Andaikata restu itu semudah
membalikan telapak tangan, tak perlulah mereka berpeluh-peluh mengarungi
daratan Jakarta. Tapi sayang, restu yang diperoleh dari Ratu adil tak ubahnya
sebutir jarum di tumpukan jerami. Sulit didapat
Ada anak kecil bertanya pada
bapakya “pak, kenapa dua mahasiswi itu butuh restu dari ratu adil?” untuk
mencari kerja nak jawab bapaknya. Ya. Kalau bukan karena perkara perut yang
harus diusahakan sendiri di kemudian hari, buat apa pula susah-susah restu
dicari?
Demi sebuah restu itu telah
berulangkali jalan terjal dilalui kedua mahasiswi. Dimulai darimana cerita ini
kumulai kawan? Dari awal kah? Baiklah. Rupanya kau terlau mau tahu. Kepo kalau
kata kawula muda masa kini.
Perjuangan dimulai dari
menentukan judul kitab yang akan ditulis oleh dua mahasiswi. Kenapa mereka
menulis kitab? Tidak lain karena menulis kitab adalah kegiatan iseng sambil
menunggu kelulusan (wisuda- peny) hari demi hari (bukan tanoe) dilalui samppai
ditemukanlah sebuah jdul yang aduhai bagi kitab kedua mahasiswi tersebut. Lalu dengan
kecepatan kilat sambil berguru ke suhu masing-masing kedua mahasiswi
mengerjakan kitab sesuai dengan judul.
Tahap pertama selesai? Belum. Jangan
senang dulu. Kitab yang baru setengah jalan itu harus diuji di depan
master-master yang mumpuni. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak,
rupanya bagi master-master yang bicara ilmu tak ubahnya meracau itu , judul
kedua mahsiswi tersebut kurang semlohai untuk sebuah kitab. Dengan kritik dan
saran yang disangka menenangkan hati, para master mengganti judul kitab dua
mahasiswi.
Kedua mahasisiwi ingin berteriak
di ujung jurang, melampiaskan kemarahan kepada angin agar beban di pundak ini
hilang. Ganti judul? Judul yang sudah dipikirkan setengah hidup itu harus
diganti begitu saja? Sungguh teganya teganya teganya. Tapi apalah daya kedua
mahasiswi ini, dengan berat hati pencarian judul baru (dan isi kitab baru) pun
dimulai
Singkat cerita, kedua mahasiswi
berhasil medapat judul baru, dan isi baru untuk kitab mereka. Apakah perjuangan
selesai? Ya belum dong. Hasil kitab ini rupanya mesti di pamerkan ke ratu adil.
Setingkat di atas master yang dulu menguji kitab yang baru setengah jalan. Dan di
pemeriksaan ratu adil inilah kedua mahasiswi kembali dibantai.
Rupanya bagi ratu adil, isi kitab
kedua mahasiswi tak ubahnya laporan perjalanan. Sebuah tulisan panjang tanpa
adanya analisis yang berarti, maka kedua mahasiswi mesti merombak lagi isi
kitab yang mereka kerjakan selama setengah tahun ini.
Tahap pemeriksaan pertama tidak
ada kemajuan yang berarti untuk kedua mahasiswi, keduanya masih mendapat lampu
merah revisi dari ratu adil, tak terima kenyataan kedua mahasiswi pun menangis
pilu sambil mengutuki jalan hidup yang dirasanya seberat dosa penjudi.
Tahap kedua pemeriksaan
dijadwalkan pada malam hari, kedua mahasiswi berjanji akan datang bersama ke
tempat ratu adil, sambil membawa revisi kitab yang dikerjakan dengan air mata
bercucuran.
Petualangan pun dimulai, kedua
mahasiswi berangkat dari pulau
Rawamangun pukul setengah lima sore, sementara jam setengah lima adalah saatnya
para pencari nafkah kembali ke gubuk dakwahnya. Walhasil kedua mahasiswi
terkena kutukan macet yang terus mengintai dari Rawamangun sampai Bekasi. Setelah
berjam-jam bertarung dengan jalanan sampailah kedua mahasiswi di bekasi untuk
beristirahat dan mengisi energy serta mental sebelum bertemu ratu adil. Kediaman
ratu adil memang di bekasi, di harapan indah tepatnya. Tapi kedua mahasisiwi
beristirahat di bekasi selatan, sementara harapan indah terletak di bekasi
utara. Ya, perjalanan kedua mahasiswi masih jauh panggang dari api.
Selesai mengisi energy, kedua
mahasiswi bersiap melanjutkan perjalanan lagi. Sebelumnya mahasisiwi pertama
ingin membersihkan diri terlebih dahulu sebelum bertemu ratu adil, namun hal
itu dicegah mahasisiwi kedua dengan alasan ‘kalau dia melihat kita kucel,
mungkin dia akan iba dan memberikan restu kepada kita’ benar juga dia, pikir
mahasiswi pertama. Maka mereka pun berangkat dengan muka dekil dan baju kusut. Supaya
kesannya berjuang banget gitu loh.
Sesampainya disana kutanya
semuanya kepada alam, kepada langit, kepada matahari, akankah ratu adil
memberikan restunya kepada kedua mahasisiwi? Rupanya ratu adil telah memberi
restu. Ini semua karena berkah ramadhan. Bagaimana tidak? Sang ratu langsung
memberi restu kepada kedua mahasiswi begitu mereka datang, tanpa pembukaan
apalagi penutupan. Restu ratu adil begitu mudah didapat. Subhanallah. Dan tentang
muka dekil, ratu adil sempat menanyakan kepada kedua mahasiswi ada apa
gerangan? Untunglah dia memperhatikan. Coba kalau tidak, kan sayang sudah
jerawatan tapi tidak kelihatan.
Restu dari ratu adil bukan
berarti kitab kedua mahasiswi langsung bisa dipersidangkan, masih ada hal-hal
yang harus dilewati kedua mahsiswi sebelum bisa membukukan kitabnya. Bagaimanakah
kelanjutannya? Kita doakan saja mereka!