Hikayat Harapan Indah

Senin, 14 Juli 2014



Inilah hikayat tentang dua mahasiswi yang mencari sebuah restu persetujuan. Berangkat jauh-jauh dari bumi rawamangun ke sebuah pulau nun jauh di mato yang bernama harapan indah. Dengan berharap nama harapan indah memang sesuai namanya. Harapan yang indah
Andaikata restu itu semudah membalikan telapak tangan, tak perlulah mereka berpeluh-peluh mengarungi daratan Jakarta. Tapi sayang, restu yang diperoleh dari Ratu adil tak ubahnya sebutir jarum di tumpukan jerami. Sulit didapat
Ada anak kecil bertanya pada bapakya “pak, kenapa dua mahasiswi itu butuh restu dari ratu adil?” untuk mencari kerja nak jawab bapaknya. Ya. Kalau bukan karena perkara perut yang harus diusahakan sendiri di kemudian hari, buat apa pula susah-susah restu dicari?
Demi sebuah restu itu telah berulangkali jalan terjal dilalui kedua mahasiswi. Dimulai darimana cerita ini kumulai kawan? Dari awal kah? Baiklah. Rupanya kau terlau mau tahu. Kepo kalau kata kawula muda masa kini.
Perjuangan dimulai dari menentukan judul kitab yang akan ditulis oleh dua mahasiswi. Kenapa mereka menulis kitab? Tidak lain karena menulis kitab adalah kegiatan iseng sambil menunggu kelulusan (wisuda- peny) hari demi hari (bukan tanoe) dilalui samppai ditemukanlah sebuah jdul yang aduhai bagi kitab kedua mahasiswi tersebut. Lalu dengan kecepatan kilat sambil berguru ke suhu masing-masing kedua mahasiswi mengerjakan kitab sesuai dengan judul.
Tahap pertama selesai? Belum. Jangan senang dulu. Kitab yang baru setengah jalan itu harus diuji di depan master-master yang mumpuni. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, rupanya bagi master-master yang bicara ilmu tak ubahnya meracau itu , judul kedua mahsiswi tersebut kurang semlohai untuk sebuah kitab. Dengan kritik dan saran yang disangka menenangkan hati, para master mengganti judul kitab dua mahasiswi.
Kedua mahasisiwi ingin berteriak di ujung jurang, melampiaskan kemarahan kepada angin agar beban di pundak ini hilang. Ganti judul? Judul yang sudah dipikirkan setengah hidup itu harus diganti begitu saja? Sungguh teganya teganya teganya. Tapi apalah daya kedua mahasiswi ini, dengan berat hati pencarian judul baru (dan isi kitab baru) pun dimulai
Singkat cerita, kedua mahasiswi berhasil medapat judul baru, dan isi baru untuk kitab mereka. Apakah perjuangan selesai? Ya belum dong. Hasil kitab ini rupanya mesti di pamerkan ke ratu adil. Setingkat di atas master yang dulu menguji kitab yang baru setengah jalan. Dan di pemeriksaan ratu adil inilah kedua mahasiswi kembali dibantai.
Rupanya bagi ratu adil, isi kitab kedua mahasiswi tak ubahnya laporan perjalanan. Sebuah tulisan panjang tanpa adanya analisis yang berarti, maka kedua mahasiswi mesti merombak lagi isi kitab yang mereka kerjakan selama setengah tahun ini.
Tahap pemeriksaan pertama tidak ada kemajuan yang berarti untuk kedua mahasiswi, keduanya masih mendapat lampu merah revisi dari ratu adil, tak terima kenyataan kedua mahasiswi pun menangis pilu sambil mengutuki jalan hidup yang dirasanya seberat  dosa penjudi.
Tahap kedua pemeriksaan dijadwalkan pada malam hari, kedua mahasiswi berjanji akan datang bersama ke tempat ratu adil, sambil membawa revisi kitab yang dikerjakan dengan air mata bercucuran.
Petualangan pun dimulai, kedua mahasiswi berangkat dari  pulau Rawamangun pukul setengah lima sore, sementara jam setengah lima adalah saatnya para pencari nafkah kembali ke gubuk dakwahnya. Walhasil kedua mahasiswi terkena kutukan macet yang terus mengintai dari Rawamangun sampai Bekasi. Setelah berjam-jam bertarung dengan jalanan sampailah kedua mahasiswi di bekasi untuk beristirahat dan mengisi energy serta mental sebelum bertemu ratu adil. Kediaman ratu adil memang di bekasi, di harapan indah tepatnya. Tapi kedua mahasisiwi beristirahat di bekasi selatan, sementara harapan indah terletak di bekasi utara. Ya, perjalanan kedua mahasiswi masih jauh panggang dari api.
Selesai mengisi energy, kedua mahasiswi bersiap melanjutkan perjalanan lagi. Sebelumnya mahasisiwi pertama ingin membersihkan diri terlebih dahulu sebelum bertemu ratu adil, namun hal itu dicegah mahasisiwi kedua dengan alasan ‘kalau dia melihat kita kucel, mungkin dia akan iba dan memberikan restu kepada kita’ benar juga dia, pikir mahasiswi pertama. Maka mereka pun berangkat dengan muka dekil dan baju kusut. Supaya kesannya berjuang banget gitu loh.
Sesampainya disana kutanya semuanya kepada alam, kepada langit, kepada matahari, akankah ratu adil memberikan restunya kepada kedua mahasisiwi? Rupanya ratu adil telah memberi restu. Ini semua karena berkah ramadhan. Bagaimana tidak? Sang ratu langsung memberi restu kepada kedua mahasiswi begitu mereka datang, tanpa pembukaan apalagi penutupan. Restu ratu adil begitu mudah didapat. Subhanallah. Dan tentang muka dekil, ratu adil sempat menanyakan kepada kedua mahasiswi ada apa gerangan? Untunglah dia memperhatikan. Coba kalau tidak, kan sayang sudah jerawatan tapi tidak kelihatan.
Restu dari ratu adil bukan berarti kitab kedua mahasiswi langsung bisa dipersidangkan, masih ada hal-hal yang harus dilewati kedua mahsiswi sebelum bisa membukukan kitabnya. Bagaimanakah kelanjutannya? Kita doakan saja mereka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS